Laa hukma illa lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah Subhanahu Wata’ala). Kata-kata ini haq adanya, karena merupakan kandungan ayat yang mulia. Namun jika kemudian ditafsirkan menyimpang dari pemahaman salafush shalih, kebatilanlah yang kemudian muncul. Bertamengkan kata-kata inilah, Khawarij, kelompok sempalan pertama dalam Islam, dengan mudahnya mengkafirkan bahkan menumpahkan darah kaum muslimin..
Siapakah Khawarij ?
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Mereka adalah orang-orang yang memberontak terhadap pemerintah di akhir masa kepemimpinan ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu yang mengakibatkan terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu. Kemudian di masa kepemimpinan ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, keadaan mereka semakin buruk. Mereka keluar dari ketaatan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, mengkafirkannya, dan mengkafirkan para shahabat. Ini disebabkan para shahabat tidak menyetujui madzhab mereka. Dan mereka menghukumi siapa saja yang menyelisihi madzhab mereka dengan hukuman kafir. Akhirnya mereka pun mengkafirkan makhluk-makhluk pilihan yaitu para shahabat Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31)
Cikal bakal mereka telah ada sejak jaman Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Diriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Ketika kami berada di sisi Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan beliau sedang membagi-bagi (harta), datanglah Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim, kepada beliau. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam pun bersabda: “Celakalah engkau! Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar merugi jika aku tidak berbuat adil.”
Maka ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Biarkanlah ia, sesungguhnya ia akan mempunyai pengikut yang salah seorang dari kalian merasa bahwa shalat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat dan puasa mereka, mereka selalu membaca Al Qur’an namun tidaklah melewati kerongkongan mereka [1], mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah [2], dilihat nashl-nya (besi pada ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat rishaf-nya (tempat masuknya nashl pada anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat nadhiy-nya (batang anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada pada anak panah) maka tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah (hewan buruan itu). Ciri-cirinya, (di tengah-tengah mereka) ada seorang laki-laki hitam, salah satu lengannya seperti payudara wanita atau seperti potongan daging yang bergoyang-goyang, mereka akan muncul di saat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin.”
Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Aku bersaksi bahwa aku mendengarnya dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan aku bersaksi pula bahwa ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu yang memerangi mereka dan aku bersamanya. Maka ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu memerintahkan untuk mencari seorang laki-laki (yang disifati oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, di antara mayat-mayat mereka) dan ditemukanlah ia lalu dibawa (ke hadapan ‘Ali), dan aku benar-benar melihatnya sesuai dengan ciri-ciri yang disifati oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.” (Shahih, HR. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabuz Zakat, bab Dzikrul Khawarij wa Shifaatihim, 2/744)
Asy-Syihristani Rahimahullah berkata: “Siapa saja yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan Khariji (seorang Khawarij), baik keluarnya di masa shahabat terhadap Al-Khulafa Ar-Rasyidin atau terhadap pemimpin setelah mereka di masa tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa.” (Al-Milal wan Nihal, hal. 114)
Mengapa Disebut Khawarij ? [3]
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata: “Dinamakan Khawarij dikarenakan keluarnya mereka dari jamaah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): “Akan keluar dari diri orang ini…” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Rahimahullah berkata: “Dinamakan dengan itu (Khawarij) dikarenakan keluarnya mereka dari din (agama) dan keluarnya mereka dari ketaatan terhadap orang-orang terbaik dari kaum muslimin.” (Fathul Bari Bisyarhi Shahihil Bukhari, 12/296)
Mereka juga biasa disebut dengan Al-Haruriyyah karena mereka (dahulu) tinggal di Harura yaitu sebuah daerah di Iraq dekat kota Kufah, dan menjadikannya sebagai markas dalam memerangi Ahlul ‘Adl (para shahabat Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam). (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145)
Disebut pula dengan Al-Maariqah (yang keluar), karena banyaknya hadits-hadits yang menjelaskan tentang muruq-nya (keluarnya) mereka dari din (agama). Disebut pula dengan Al-Muhakkimah, karena mereka selalu mengulang kata-kata Laa Hukma Illa Lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah Subhanahu Wata’ala), suatu kalimat yang haq namun dimaukan dengannya kebatilan. Disebut pula dengan An-Nawashib, dikarenakan berlebihannya mereka dalam menyatakan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. (Firaq Mu’ashirah, 1/68-69, Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji, secara ringkas)
Bagaimanakah Mahdzab Mereka ?
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, madzhab mereka adalah tidak berpegang dengan As Sunnah wal Jamaah, tidak mentaati pemimpin (pemerintah kaum muslimin, pen), berkeyakinan bahwa memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin merupakan bagian dari agama. Hal ini menyelisihi apa yang diwasiatkan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam agar senantiasa mentaati pemerintah (dalam hal yang ma’ruf/ yang tidak bertentangan dengan syariat), dan menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam firman-Nya (yang artinya): “Taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)
Allah Subhanahu Wata’ala dan Nabi-Nya Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menjadikan ketaatan kepada pemimpin sebagai bagian dari agama… Mereka (Khawarij) menyatakan bahwa pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) telah kafir, tidak diampuni dosa-dosanya, kekal di neraka. Dan ini bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam Kitabullah (Al Qur’an). (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31-33)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Mereka berkeyakinan atas kafirnya ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu dan orang-orang yang bersamanya. Mereka juga berkeyakinan sahnya kepemimpinan ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu (sebelum kemudian dikafirkan oleh mereka, pen) dan kafirnya orang-orang yang memerangi ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu dari Ahlul Jamal.” [4] (Fathul Bari, 12/296)
Al-Hafidz Rahimahullah juga berkata: “Kemudian mereka berpendapat bahwa siapa saja yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka, maka ia kafir, halal darah, harta dan keluarganya.” (Fathul Bari, 12/297)
Peperangan Khawarij Dengan Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Setelah Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan terbunuh, maka orang-orang Khawarij ini bergabung dengan pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib. Dalam setiap pertempuran pun mereka selalu bersamanya. Ketika terjadi pertempuran Shiffin (tahun 38 H) antara pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib dengan pasukan shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan dari penduduk Syam yang terjadi selama berbulan-bulan -dikarenakan ijtihad mereka masing-masing-, ditempuhlah proses tahkim (pengiriman seorang utusan dari kedua pihak guna membicarakan solusi terbaik bagi masalah yang sedang mereka alami).
Orang-orang Khawarij tidak menyetujuinya, dengan alasan bahwa hukum itu hanya milik Allah dan tidak boleh berhukum kepada manusia. Demikian pula tatkala dalam naskah ajakan tahkim dari ‘Ali bin Abu Thalib termaktub: “Inilah yang diputuskan oleh Amirul Mukminin ‘Ali atas Mu’awiyah…” lalu penduduk Syam tidak setuju dengan mengatakan, “Tulislah namanya dan nama ayahnya,” (tanpa ada penyebutan Amirul Mukminin). ‘Ali pun menyetujuinya, namun orang-orang Khawarij pun mengingkari persetujuan itu.
Setelah disepakati utusan masing-masing pihak yaitu Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak ‘Ali dan ‘Amr bin Al-‘Ash dari pihak Mu’awiyah, dan disepakati pula waktu dan tempatnya (Dumatul Jandal), maka berpisahlah dua pasukan tersebut. Mu’awiyah kembali ke Syam dan ‘Ali kembali ke Kufah, sedangkan kelompok Khawarij dengan jumlah 8.000 orang atau lebih dari 10.000 orang, atau 6.000 orang, memisahkan diri dari ‘Ali dan bermarkas di daerah Harura yang tidak jauh dari Kufah.
Pimpinan mereka saat itu adalah Abdullah bin Kawwa’ Al-Yasykuri dan Syabats At-Tamimi. Maka ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu mengutus shahabat Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma untuk berdialog dengan mereka dan banyak keluar menemui dari mereka yang rujuk. Lalu ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu mereka, maka mereka pun akhirnya menaati ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu, dan ikut bersamanya ke Kufah, bersama dua orang pimpinan mereka. Kemudian telah bertaubat darimereka membuat isu bahwa ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu masalah tahkim, karena itulah mereka kembali bersamanya. Sampailah isu ini kepada ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu, lalu ia berkhutbah dan mengingkarinya. Maka mereka pun saling berteriak dari bagian samping masjid (dengan mengatakan): “Tiada hukum kecuali untuk Allah.” ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu pun menjawab: “Kalimat yang haq (benar) namun yang dimaukan dengannya adalah kebatilan!”
Kemudian berkata kepada mereka: “Hak kalian yang harus‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu kami penuhi ada tiga: Kami tidak akan melarang kalian masuk masjid, tidak akan melarang kalian dari rizki fai’, dan tidak akan pula memulai penyerangan selama kalian tidak berbuat kerusakan.”
Secara berangsur-angsur pengikut Khawarij akhirnya keluar dari Kufah dan berkumpul di daerah Al-Madain. ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu senantiasa mengirim utusan agar mereka rujuk. Namun mereka tetap bersikeras mau bersaksi atas kekafiranmenolaknya hingga ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu dirinya dikarenakan masalah tahkim atau bertaubat. Lalu ‘Ali mengirim utusan lagi (untuk mengingatkan mereka)Radhiyallahu ‘Anhu namun justru utusan tersebut hendak mereka bunuh dan mereka bersepakat bahwa yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka maka dia kafir, halal darah dan keluarganya.
Aksi mereka kemudian berlanjut dalam bentuk fisik, yaitu menghadang dan membunuh siapa saja dari kaum muslimin yang melewati daerah mereka. Ketika Abdullah bin Khabbab bin Al-Art -yang saat itu menjabat sebagai salah seorang gubernur ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu- berjalan melewati daerah kekuasaan Khawarij bersama budak wanitanya yang tengah hamil, maka mereka membunuhnya dan merobek perut budak wanitanya untuk mengeluarkan anak dari perutnya.
Sampailah berita ini kepada ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu, maka ia pun keluar untuk memerangi mereka bersama pasukan yang sebelumnya dipersiapkan ke Syam. Dan akhirnya mereka berhasil ditumpas di daerah Nahrawan beserta para gembong mereka seperti Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi, Zaid bin Hishn At-Tha’i, dan Harqush bin Zuhair As-Sa’di. Tidak selamat dari mereka kecuali kurang dari 10 orang dan tidaklah terbunuh dari pasukan ‘Ali kecuali sekitar 10 orang.
Sisa-sisa Khawarij ini akhirnya bergabung dengan simpatisan madzhab mereka dan sembunyi-sembunyi semasa kepemimpinan ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu, hingga salah seorang dari mereka yang bernama Abdurrahman bin Muljim berhasil yang saat itu sedang melakukan shalat membunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu Shubuh. (diringkas dari Fathul Bari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani , 12/296-298, dengan beberapa tambahan dari Al-Bidayah wan Nihayah, karya Al-Hafidz Ibnu Katsir, 7/281)
Kafirkah Khawarij ?
Kafirnya Khawarij masih diperselisihkan di kalangan ulama. Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Sebagian besar ahli ushul dari Ahlus Sunnah berpendapat bahwasanya Khawarij adalah orang-orang fasiq, dan hukum Islam berlaku bagi mereka. Hal ini dikarenakan mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan selalu melaksanakan rukun-rukun Islam. Mereka dihukumi fasiq, karena pengkafiran mereka terhadap kaum muslimin berdasarkan takwil (penafsiran) yang salah, yang akhirnya menjerumuskan mereka kepada keyakinan akan halalnya darah, dan harta orang-orang yang bertentangan dengan mereka, serta persaksian atas mereka dengan kekufuran dan kesyirikan.” (Fathul Bari, 12/314)
Al-Imam Al-Khaththabi Rahimahullah berkata: “Ulama kaum muslimin telah bersepakat bahwasanya Khawarij dengan segala kesesatannya tergolong firqah dari firqah-firqah muslimin, boleh menikahi mereka, dan memakan sembelihan mereka, dan mereka tidak dikafirkan selama masih berpegang dengan pokok keislaman.” (Fathul Bari, 12/314)
Al-Imam Ibnu Baththal Rahimahullah berkata: “Jumhur ulama berpendapat bahwasanya Khawarij tidak keluar dari kumpulan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 12/314)
Sebab-Sebab Yang Mengantarkan Khwarij Pada Kesesatan
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “yang demikian itu disebabkan kebodohan mereka tentang agama Islam, bersamaan dengan wara’, ibadah dan kesungguhan mereka. Namun tatkala semua itu (wara’, ibadah, dan kesungguhan) tidak berdasarkan ilmu yang benar, akhirnya menjadi bencana bagi mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 35)
Demikan pula, mereka enggan untuk mengambil pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih) dalam memahami masalah-masalah din ini, sehingga terjerumuslah mereka ke dalam kesesatan.
Anjuran Memerangi Mereka [5]
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Maka jika kalian mendapati mereka (Khawarij-pen), perangilah mereka! Karena sesunggguhnya orang-orang yang memerangi mereka akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/747, dari shahabat ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu).
Beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda (yang artinya): “Jika aku mendapati mereka (Khawarij), benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum ‘Aad.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu)
Dalam lafadz yang lain beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Jika aku mendapati mereka, benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum Tsamud.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu)
Al-Imam Ibnu Hubairah berkata: “Memerangi Khawarij lebih utama dari memerangi orang-orang musyrikin. Hikmahnya, memerangi mereka merupakan penjagaan terhadap ‘modal’ Islam (kemurnian Islam -pen), sedangkan memerangi orang-orang musyrikin merupakan ‘pencarian laba’, dan penjagaan modal tentu lebih utama.” (Fathul Bari, 12/315)
Samakah Musuh-Musuh Ali Bin Abi Thalib Dalam Perang Jamal Dan Perang Shiffin Dengan Khawarij ?
Pendapat yang menyatakan bahwa musuh-musuh ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sama dengan Khawarij ini tentunya tidak benar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata: “Adapun jumhur ahli ilmu, mereka membedakan antara orang-orang Khawarij dengan Ahlul Jamal dan Shiffin, serta selain mereka yang terhitung sebagai penentang dengan berdasarkan ijtihad. Inilah yang ma’ruf dari para shahabat, keseluruhan ahlul hadits, fuqaha, dan mutakallimin. Di atas pemahaman inilah, nash-nash mayoritas para imam dan pengikut mereka dari murid-murid Malik, Asy-Syafi’i, dan selain mereka.” (Majmu’ Fatawa, 35/54)
Nasehat Dan Peringatan
Madzhab Khawarij ini sesungguhnya terus berkembang (di dalam merusak aqidah umat) seiring dengan bergulirnya waktu. Oleh karena itu Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menasehatkan: “Wajib bagi kaum muslimin di setiap masa, jika terbukti telah mendapati madzhab yang jahat ini untuk mengatasinya dengan dakwah dan penjelasan kepada umat tentangnya. Jika mereka (Khawarij) tidak mengindahkannya, hendaknya kaum muslimin memerangi mereka dalam rangka membentengi umat dari kesesatan mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 37)
Wallahu a’lam bish shawab.
Foot Note:
[1] Al Qadhi Bin Iyadh Rahimahullah berkata, “Padanya terdapat 2 pengertian. Pertama:Hati mereka tidak memahami AL Qur’an tersebut dan tidak pula mengambil manfaat dari apa yang mereka baca. Mereka tidak melakukan kecuali hanya sebatas bacaam mulut dan kerongkongan yang dengannya keluarlah potongan-potongan huruf. Kedua: Amalan dan bacaan mereka tidak diterima di sisi Allah Subhanahu Wata’ala” (Ta’liq Shahih Muslim 2/740, Muhammad Fuad Baqi’)
[2] Al Imam Al Mubarakfuri Rahimahullah berkata, “Ar Ramiyah adalah hewan buruan yang dipanah. Keluarnya mereka (Khawarij) dari agama ini diumpamakan dengan anak apanah yang mengenai buruan lali masuk hingga tembus. Karena beitu cepatnya laju anak panah tersebut (dikarenakan kuatnya si pemanah) maka tidak ada sesuatu pun dari jasad (darah maupun daging) hewan buruan itu yang berbekas pada anak panah” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/426)
[3] Kata “Khawarij” merupakan bentuk jamak dari “Kharij” yang artinya “orang yang keluar”.
[4] Ahlul Jamal adalal Aisyah Radhiyallau ‘Anhu, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan orang-orang yang bersama mereka yang menuntut dihukumnya para pembunuh Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu, setelah mereka membai’at Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu.
[5] Adapun memerangi mereka bukanlah urusan perorangan atau kelompok tertentu namun dibawah naungan pemerintah sebagaimana dijelaskan para ulama dalam buku-buku fiqih.
Dikutip http://Asysyariah.com, Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc, Judul: Khawarij : Kelompok Sesat Pertama dalam Islam